Rabu, 12 Juni 2013
SEJARAH YANG BENAR (Kiyai Wahab, NU Dan Khilafah: Sebuah Koreksi)
Ide tentang penegakan kembali
khilafah, sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam disertasi, disuarakan
dengan sangat lantang dan nyaring oleh kelompok Islam kanan, utamanya adalah
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kelompok ini, seperti yang bisa disaksikan baik
lewat tulisan, orasi ketika berdemonstrasi, selalu mengulang-ulang untuk
menegakkan khilafah. Khilafah menjadi mainstream perjuangannya, bahkan
ideologi politiknya, yang kata mereka akan manjur untuk mengatasi seluruh
problem manusia di dunia ini.
Kelompok ini dengan semangat militan
berupaya merekrut kader sebanyak-banyaknya, tak terkecuali kader dari
ormas-ormas keagamaan baik NU maupun Muhammadiyah. Dalam upaya merekrut kader
dari kalangan NU, mereka menggunakan berbagai argumen yang diharapkan agar
kader-kader NU yang tulus dan lugu ini tertarik menjadi pengikutnya. Nampaknya,
argumen-argumen yang dikemukakan oleh aktivis HTI juga dapat memikat kader NU,
terbukti beberapa kader NU menjadi anggota Hizbut Tahrir (termasuk penulis yang
dulu juga pernah menjadi anggota Hizbut Tahrir).
Argumen yang dijadikan pijakan oleh
aktivis HTI untuk menundukkan kader dan warga NU paling tidak ada dua: pertama;
argumen historis kelahiran NU. Salah seorang aktivis HTI, Irkham Fahmi dalam
tulisannya, “Membongkar Proyek Demokrasi ala PBNU abad 21” menjelaskan bahwa
cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama adalah cita-cita agung para ulama
nusantara yang tertuang dalam komite khilafah Indonesia. Selanjutnya Irkham
Fahmi menegaskan bahwa KH. Sholahuddin Wahid mengakui keabsahan sejarah ini,
sekalipun Gus Sholah menolak relevansi khilafah dengan Indonesia. Masih banyak
lagi tulisan-tulisan sejenis apabila kita berselancar di internet seperti
judul, “KH. Abdul Wahab Hasbullah, Tokoh NU & Inisiator Konferensi Khilafah
1926,” atau judul, “NU, NKRI dan Khilafah,” demikian pula judul, “Warga NU
Rindu Syariah dan Khilafah,” judul lain, “Respon NU atas Runtuhnya Khilafah,”
bahkan tidak hanya mencatut NU, tapi juga ormas Islam lain seperti judul,
“Generasi Awal Muhammadiyah & NU Ternyata Pendukung Khilafah.” Basis
argumen dari semua judul di atas adalah masalah komite khilafah.
Untuk menjawab argumen di atas,
secara historis memang pernah terbentuk apa yang disebut komite khilafah atau
CCC (Central Comite Chilafah). Namun yang perlu diklarifikasi adalah, komite
ini bukan dibentuk Mbah Wahab, tapi bentukan berbagai kelompok Islam (SI,
Muhammadiyah, al-Irsyad, PUI, dll) yang pada waktu itu mempunyai suara
mayoritas. Sekalipun bisa jadi Mbah Wahab dan ulama lain dari kalangan
pesantren pernah diajak untuk masuk komite ini. Bukti bahwa komite khilafah
bukan bentukan Mbah Wahab dan para ulama pesantren adalah pada kongres-kongres
selanjutnya para ulama ini tidak mengikutinya.
Justeru yang perlu ditegaskan,
selain ada komite khilafah, terdapat komite Hijaz yang memang genuine atau asli
bentukan para ulama pesantren yang nantinya bergabung dengan NU. Komite Hijaz
ini lahir, selain tidak sepahamnya Mbah Wahab dengan misi komite khilafah, juga
karena kurang aspiratifnya komite ini, juga semangat memperjuangkan tradisi ala
ulama seperti ziarah kubur, merayakan maulid Nabi, berislam dengan cara
bermazhab agar tidak diberangus oleh kelompok al-Saud atau Wahhabi yang saat
itu sampai sekarang berkuasa di Hijaz dan sekitarnya.
Komite Hijaz inilah salah satu cikal
bakal kelahiran NU. Akhirnya menjadi tidak benar kalau cikal bakal kelahiran NU
adalah dari komite khilafah yang berusaha melakukan pertemuan internasional
untuk membahas runtuhnya Turki Utsmani.
Argumen kedua diambilkan dari
teks-teks khilafah dalam kitab kuning. Para aktivis HTI memahami bahwa ulama
dan kader NU sangat mencintai kitab kuning yang ini dibuktikan dengan
diajarkannya kitab-kitab tersebut di pesantren-pesantren NU, sekaligus
kitab-kitab ini menjadi rujukan dalam bahtsul masail NU ketika menghadapi suatu
masalah baru dalam keagamaan. Salah seorang penulis dan aktivis HTI, Musthafa
A. Murtadlo menulis sebuah buku saku untuk memperkuat argumentasi khilafah
dengan mengumpulkan pendapat-pendapat para ulama salaf tentang hal tersebut.
Inti dari buku saku tersebut adalah semua ulama salaf dalam kitab kuning yang
menjadi rujukan NU mendukung ide khilafah. Lihat Musthafa A. Murtadlo, Aqwal
Para Ulama’ Tentang Wajibnya Imamah (Khilafah).
Argumen kedua ini kalau tidak
dicermati secara jeli, maka para kader NU yang tulus dan bergelut dengan kitab
kuning akan sangat mempercayainya kemudian mengapresiasi atau bahkan ikut HTI.
Namun yang perlu diketahui bahwa konsep atau pemikiran tentang kepemimpinan
umat Islam dari para ulama salaf tersebut tidak sama persis dengan yang
ditelorkan oleh Hizbut Tahrir.
Selain itu, dalam kitab-kitab klasik
tersebut hampir semua tema besarnya menyebut kata al-imamah atau al-imam
al-a’zhom. Penyebutan khilafah lebih jarang, hal ini berbeda dengan Hizbut
Tahrir yang lebih sering menyebut khilafah sebagai jargón perjuangannya. Bisa
diambil contoh dalam kitab-kitab klasik mazhab al-Syafi’i seperti kitab al-Umm
juz 1/188 karya al-Syafi’i, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hal. 5 karya al-Mawardi,
Rawdhat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Muttaqin juz 10/42 karya al-Nawawi, Minhaj
al-Thalibin juz 1/292 karya al-Nawawi, Asna al-Mathalib juz 19/352 karya
Zakariya al-Anshari, Fath al-Wahhab juz 2/187 karya Zakariya al-Anshari, Minhaj
al-Thullab juz 1/157 karya Zakariya al-Anshari, Tuhfat al-Muhtaj juz 9/74 karya
Ibn Hajar a-Haytami, Mughni al-Muhtaj juz 5/409 karya Ahmad al-Khathib
al-Syarbini, Nihayat al-Muhtaj juz 7/409 karya al-Ramli.
Terakhir dan yang terpenting, untuk
menjawab argumen yang kedua sekaligus memperkuat bantahan untuk argumen yang
pertama. Kalau para kader NU yang hidup sekarang ini ketika memahami teks-teks
kitab kuning tentang imamah atau imam a’zhom tidak melewati model pemahaman
sekaligus “bertawassul” lewat Mbah Wahab (KH. Wahab Hasbullah), maka akan mudah
tertarik untuk ikut memperjuangkan khilafah ala HTI.
Perlu diketahui, Mbah Wahab dalam
pidatonya di parlemen pada tanggal 29 Maret 1954 yang dimuat dalam majalah Gema
Muslimin (copy arsip ada di penulis) dengan judul, “Walijjul Amri Bissjaukah”
mengatakan,
“Saudara2, dalam hukum Islam jang
pedomannja ialah Qur’an dan Hadits, maka di dalam kitab2 agama Islam
Ahlussunnaah Waldjama’ah jang berlaku 12 abad di dunia Islam, di situ ada
tertjantum empat hal tentang Imam A’dhom dalam Islam, jaitu bahwa Imam A’dhom
di seluruh dunia Islam itu hanja satu. Seluruh dunia Islam jaitu Indonesia,
Pakistan, Mesir, Arabia, Irak, mupakat mengangkat satu Imam. Itulah baru nama
Imam jang sah, jaitu bukan Imam jang darurat. Sedang orang jang dipilih atau
diangkat itu harus orang jang memiliki atau mempunyai pengetahuan Islam jang
semartabat mudjtahid mutlak. Orang jang demikian ini sudah tidak ada dari
semendjak 700 tahun sampai sekarang…. Kemudian dalam keterangan dalam bab jang
kedua, bilamana ummat dalam dunia Islam tidak mampu membentuk Imam A’dhom jang
sedemikian kwaliteitnja, maka wadjib atas ummat Islam di-masing2 negara
mengangkat Imam jang darurat. Segala Imam jang diangkat dalam keadaan darurat
adalah Imam daruri……..Baik Imam A’dhom maupun daruri, seperti bung Karno
misalnja, bisa kita anggap sah sebagai pemegang kekuasaan negara, ialah
Walijjul Amri.”
Pidato Mbah Wahab di atas setidaknya
dapat ditarik tiga pemahaman: pertama, bahwa mengangkat kepemimpinan tunggal
dalam dunia Islam baik yang disebut dengan imamah maupun khilafah sudah tidak
mungkin lagi karena syarat seorang imam yang setingkat mujtahid mutlak menurut
Mbah Wahab sudah tidak ada lagi semenjak 700 tahun sampai sekarang. Kedua, dari
pidato tersebut juga dapat ditarik kesimpulan bahwa presiden Indonesia berikut
NKRI adalah sah secara hukum Islam. Ketiga, pidato ini sekaligus menafikan
pendapat bahwa Mbah Wahab bercita-cita menegakkan kembali khilafah dengan
membentuk komite khilafah, karena terbukti Mbah Wahab menjelaskan bahwa sudah
700 tahun tidak ada orang yang setingkat mujtahid untuk menduduki kursi sebagai
Imam atau khalifah.
Lantas, apa ratio legis Mbah Wahab
dengan mengajukan argumen bahwa khilafah sudah tidak mungkin lagi karena syarat
seorang imam yang setingkat mujtahid mutlak sudah tidak ada lagi sejak 700
tahun. Kalau kita membuka lembaran kitab kuning semisal al-Ahkam
al-Sulthaniyyah karya Imam al-Mawardi, di situ dijelaskan bahwa ahlul imamah
(orang yang berkualifikasi menjadi imam) harus memenuhi syarat adil, berilmu
yang mampu untuk berijtihad, selamatnya pancaindera dan fisik dari kekurangan,
wawasan kepemimpinan yang luas, keberanian dan nasab Quraisy. Poin tentang
berilmu yang mampu untuk berijtihad inilah nampaknya yang dijadikan pijakan
Mbah Wahab.
Menarikanya lagi, dalam pidato
tersebut, Mbah Wahab menjelaskan lebih lanjut bahwa karena syarat menjadi imam
a’dhom (seperti dalam al-Mawardi) sudah tidak terpenuhi, maka Soekarno absah
menjadi pemimpin RI dengan gelar waliyyul amri ad-daruri bissyaukah. Artinya
syarat pemimpin yang ideal diturunkan menjadi syarat minimal realistis. Dengan
demikian, dapat ditarik kesimpulan lain bahwa Gus Dur yang mempunyai kekurangan
fisik juga absah menjadi presiden, karena memang presiden tidak sama dengan
imam a’dhom sehingga syarat ideal seperti dalam al-Mawardi tidak diperlukan.
Dari uraian singkat di atas, warga
dan kader NU sudah tidak perlu lagi terlibat dengan ikut memperjuangkan ide
khilafah. Justeru yang penting adalah mengisi NKRI supaya bersih dari korupsi
dan menjadi negara yang adil dan sejahtera. Di luar itu, soal kepemimpinan
akhir zaman yang mengglobal, kita serahkan saja kepada a waited savior yang
dipercaya oleh semua agama dengan berbagai sebutannya: al-Mahdi (Islam),
Christos/Christ (Kristen), Ha-Mashiah (Yahudi), Buddha Maytreya (Budha), Kalki
Avatar (Hindu), atau Shousyant (Majusi/Zoroaster). Terlebih hadis yang
menjelaskan tentang Imam Mahdi ini mutawatir tidak seperti hadis tentang
khilafah (Lihat kitab Nazhmul Mutanatsir minal Haditsil Mutawatir karya Syekh
Muhammad bin Ja’far Al- Kattani, dan Asy-Syaukani yang berjudul At-Taudhih Fi
Tawaturi Maa Ja-a Fil Mahdil Muntazhor wad-Dajjal wal-Masih). Dengan cara
demikian, rakyat Indonesia tidak akan terpecah pikiran dan energinya untuk
membongkar NKRI, tapi justru membangunnya demi keadilan, kesejahteraan, dan
kedamaian untuk semua warga bangsa. Wallahu a’lam.
Dr. H. Ainur Rofiq Al-Amin, SH, M.Ag
(Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya,
Pengasuh Pesantren Tambakberas Jombang, dan penulis buku Membongkar Proyek
Khilafah ala HTI di Indonesia)
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Islam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments: