Sabtu, 18 Mei 2013
Metode Yang Benar Dalam Meraih Ilmu Agama
Oleh: Kholil Abu Fateh
Ugensi Sanad
Sanad adalah mata
rantai orang-orang yang membawa sebuah disiplin ilmu (Silsilah ar-Rijâl). Mata rantai ini terus bersambung satu
sama lainnya hingga kepada pembawa awal ilmu-ilmu itu sendiri; yaitu
Rasulullah. Integritas sanad dengan ilmu-ilmu Islam tidak dapat terpisahkan.
Sanad dengan ilmu-ilmu keislaman laksana paket yang merupakan satu kesatuan.
Seluruh disiplin ilmu-ilmu Islam dipastikan memiliki sanad. Dan Sanad inilah
yang menjamin keberlangsungan dan kemurnian ajaran-ajaran dan ilmu-ilmu Islam
sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat syari’at itu sendiri; Allah dan
Rasul-Nya.
Di antara sebab
“kebal” ajaran-ajaran yang dibawa Rasulullah dari berbagai usaha luar yang
hendak merusaknya adalah karena keberadaan sanad. Hal ini berbeda dengan
ajaran-ajaran atau syari’at nabi-nabi sebelum nabi Muhammad. Adanya berbagai
perubahan pada ajaran-ajaran mereka, bahkan mungkin hingga terjadi pertentangan
ajaran antara satu masa dengan masa lainnya setelah ditinggal oleh nabi-nabi
yang bersangkutan, adalah karena tidak memiliki sanad. Karena itu para ulama
menyatakan bahwa sanad adalah salah satu “keistimewaaan” yang dikaruniakan oleh
Allah kepada umat nabi Muhammad, di mana hal tersebut tidak dikaruniakan oleh
Allah terhadap umat-umat nabi sebelumnya. Dengan jaminan sanad ini pula kelak
kemurnian ajaran-ajaran Rasulullah akan terus berlangsung hingga datang hari
kiamat[1].
Tentang pentingnya
sanad, Imam Ibn Sirin, seorang ulama terkemuka dari kalangan tabi’in, berkata:
إنّ هَذَا اْلعِلْمَ
دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمّنْ تَأخُذُوْنُ دِيْنَكُمْ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي
مُقَدِّمَةِ الصّحِيْح)
“Sesungguhnya ilmu
-agama- ini adalah agama, maka lihatkan oleh kalian dari manakah kalian
mengambil agama kalian”. (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam mukadimah
kitab Shahîh-nya).
Imam ‘Abdullah ibn
al-Mubarak berkata:
الإسْنَادُ مِنَ
الدّيْنِ لَوْ لاَ الإسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Sanad adalah bagian
dari agama, jika bukan karena sanad maka setiap orang benar-benar akan berkata
-tentang urusan agama- terhadap apapun yang ia inginkan”[2].
Pentingnya sanad
tidak hanya berlaku khusus dalam disiplin hadits, atau ilmu-ilmu hadits saja,
tetapi berlaku dalam seluruh ilmu-ilmu agama. Perhatikan perkataan Ibn Sirin di
atas, beliau tidak mengatakan khusus dalam masalah hadits saja, tetapi beliau
mengatakan “al-‘Ilm” artinya secara mutlak mencakup seluruh ilmu-ilmu agama.
Pemahaman ini pula tersirat dalam perkataan Imam Abdullah ibn
al-Mubarak.
Tradisi Mencari Sanad Aly
Sanad Aly adalah sanad yang
jumlah orang-orang terlibat dalam mata rantainya lebih sedikit dan kesemua
orang tersebut adalah orang-orang terpercaya (tsiqah). Kebalikannya disebut Sanad Nazil; ialah bahwa orang-orang yang terlibat dalam
mata rantainya lebih banyak. Sanad Aly memiliki potensi lebih kecil dari kemungkinan adanya kesalahan
dalam mata rantai itu sendiri atau dalam redaksi (informasi) yang dibawa oleh
mata rantai tersebut. Sementara Sanad Nazil sebaliknya, berpotensi mengandung kesalahan lebih besar. Karena
itu tradisi para ulama saleh dahulu adalah berusaha sekuat tenaga mencari Sanad Aly. Lihat, sahabat dan murid-murid Abdullah ibn
Umar yang berada di Kufah mengadakan perjalanan yang cukup jauh dan menyulitkan
menuju Madinah hanya untuk mendengar dan belajar langsung kepada Umar ibn
al-Khattab; yang padahal materi-materinya telah disampaikan oleh Abdullah ibn
Umar. Tradisi mulia ini telah diceritakan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal berkata:
طَلَبُ الإسْنَاد
العَالِي سُنّة عَمّن سَلفَ، لأنّ أصْحَابَ عبْدِ الله كانُوا يَرحَلوْنَ مِنَ
الكُوفَة إلَى المَدينَةِ فَيَتَعَلّمُوْنَ مِنْ عُمَرَ وَيَسْمَعُوْنَ مِنه
“Mencari sanad aly
adalah adalah tradisi dari para ulama salaf, karena para sahabat Abdullah ibn
Umar mengadakan perjalanan dari Kufah ke Madinah hanya untuk belajar dan
mendengar dari Umar”[3].
Imam Ahmad ibn Hanbal juga meriwayatkan bahwa Imam Yahya ibn Ma’in; salah
seorang Imam hadits terkemuka, di tengah sakit beliau menjelang wafatnya sempat
ditawarkan kepada apakah yang dia inginkan saat itu? Beliau menjawab:
بَيْتٌ خَالِي وَسَنَدٌ
عَالِي
“Aku ingin rumah sepi
dan sanad aly”[4].
At-Talaqqi Bi al Musyafahah
Sudah menjadi
kesepakatan Ulama Salaf dan Khalaf bahwa ilmu agama tidak diperoleh dengan
membaca beberapa literatur agama, melainkan dengan belajar langsung (talaqqi) kepada seorang alim yang terpercaya (tsiqah) yang pernah berguru kepada seorang alim
terpercaya, dan demikian seterusnya hingga berujung kepada Sahabat Nabi. Al-Hafizh Abu Bakr al-Khatib al-Baghdadi berkata:
لا يُؤْخَذُ الْعِلْمُ
إلاّ مِنْ أفْوَاهِ الْعُلَمَاء
“Ilmu agama tidak
dapat diambil kecuali dari lisan Ulama”.
Sebagian ulama Salaf
mengatakan:
الّذِى يَأخُذُ
الْحَديْثَ منَ الكُتب يُسَمّى صَحَفيّا وَالّذى يأخُذُ القرآنَ مِنَ الْمُصْحَفِ
يُسَمّى مُصْحَفِيًّا وَلاَ يُسَمَّى قَارِئًا
“Orang yang
mempelajari hadits dari kitab (tanpa guru) dinamakan shahafi (bukan Muhaddits), sedangkan orang yang mempelajari al-Qur'an
dari mushaf (tanpa guru) dinamakan mushafi, tidak disebut qari’ ”.
Dan ini sesungguhnya
dipahami dari sabda Rasulullah:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بهِ
خيرًا يُفَقّهْهُ فِى الدّيْن إنّمَا العلْمُ بالتّعَلّمِ وَالفقْهُ بالتّفقُّه
رواه الطبراني
“Barang siapa
yang dikehendaki oleh Allah baginya suatu kebaikan, maka Allah mudahkan
baginya seorang guru yang mengajarinya Ilmu-Ilmu Agama, Sesungguhnya ilmu agama
(diperoleh) dengan cara belajar kepada seorang alim, begitu pula
fiqih". (HR. ath-Thabarani)
Metode At-Tahammul Dalam Meraih Ilmu
Ada delapan metode at-Tahammul dalam meraih ilmu. Ini tidak dikhususkan hanya
belaku dalam bidang hadits saja, tapi berlaku bagi berbagai disiplin ilmu
agama; fiqh, tafsir, tasawwuf, dan lainnya. Metode at-Tahammul ini biasanya sering dibahas dalam bidang
hadits saja adalah karena titik konsentrasi hadits itu berupa kajian terhadap
sanad dan matan. Dari segi matan dituntut tidak ada perbedaan atau perubahan
redaksi dari satu perawi kepada perawi yang lainnya yang ada di bawahnya. Lalu
dari segi sanad dituntut adanya mata rantai yang berkesinambungan, lalu semua
perawinya orang-orang terpercaya (tsiqah), orang-orang adil, dan orang-orang kapabel (dlabith).
Delapan metode at-Tahammul tersebut adalah dengan tingkatan tersusun
demikian ini; (1) Mendengar lafazh (pelajaran) syekh/guru (Sama’ Lafzh
asy-Syaikh), (2) Membaca di
hadapan syekh (al-Qira’ah ‘Ala asy-Syaikh), (3) al-Ijazah, (4) al-Munawalah, (5) al-Kitabah, (6) al-I’lam, (7) al-Washiyyah, dan (8) al-Wijadah. Dengan demikian tingkatan yang paling tinggi adalah Sama’ Lafzh
asy-Syaikh[5].
Akibat Tidak Memiliki Guru; Kasus Nyata
Imam Abu Hayyan
al-Andalusi; salah seorang Imam ahli Tafsir, penulis Tafsir
al-Bahr al-Muhith, dalam untaian
bait-bait syair-nya menuliskan sebagai berikut:
يَظُنُّ الغُمْرُ أنّ
الكُتْبَ تَهْدِيْ
# أخَا جَهْلٍ لإدْرَاكِ العُلُوْمِ
ومَا يَدْرِي
الْجَهُوْلُ بأنّ فيْهَا
#
غَوَامِضَ حَيَّرَتْ عَقْلَ الْفَهِيْمِ
إذَا رُمْتَ
الْعُلُوْمَ بِغَيْرِ شَيْخٍ
# ضَلَلْتَ عَنِ الصّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ
وَتَشْتَبِهُ الأمُوْرُ
عَليكَ حَتّى
# تَصِيْرَ أضَلّ مِنْ تُوْمَا الْحَكِيْمِ
Orang lalai mengira
bahwa kitab-kitab dalapat memberikan petunjuk kepada orang bodoh untuk meraih
ilmu…”
Padahal orang bodoh
tidak tahu bahwa dalam kitab-kitab tersebut ada banyak pemahaman-pemahaman
sulit yang telah membingungkan orang yang pintar”.
Jika engkau
menginginkan (meraih) ilmu dengan tanpa guru maka engkau akan sesat dari jalam
yang lurus”.
Segala perkara akan
menjadi rancu atas dirimu, hingga engkau bisa jadi lebih sesat dari orang yang
bernama Tuma al-Hakim”[6].
Tuma al-Hakim adalah seorang tabib (dokter) yang dalam praktek pengobatannya
hanya berdasar buku belaka. Suatu hari ia mendapati sebuah redaksi hadits
berbunyi; “al-Habbah as-Sawda’ Syifa’ Likulli Da’”. Namun Tuma al-Hakim mendapati huruf ba’ pada kata al-habbah dengan dua titik; menjadi ya’, karena kemungkinan salah cetak, maka ia membacanya
menjadi al-Hayyah as-Sawda’. Tentu maknanya berubah total, semula makna yang benar adalah “Habbah Sawda’ (jintan hitam) adalah obat dari segala
penyakit”, berubah drastis menjadi “Ular hitam adalah obat bagi segala
penyakit”. Akibatnya, Tuma al-Hakim telah membunuh banyak orang karena
“kebodohannya”, mereka mati terkena bisa ular ganas yang ia anggapnya sebagai
obat.
Ijtihad Dan Taqlid
Ijtihad adalah mengeluarkan
(menggali) hukum-hukum yang tidak terdapat nash (teks) yang jelas. Teks yang jelas adalah yang
tidak mengandung kecuali satu makna saja. Maka Mujtahid (orang yang melakukan ijtihad) ialah orang
yang memiliki keahlian dalam menggali hukum-hukum pada masalah-masalah yang
tidak terdapat nash (teks) yang jelas di dalamnya. Mujtahid adalah seorang yang hafal ayat-ayat ahkam, hadits-hadits ahkam beserta mengetahui sanad-sanad dan keadaan para perawinya, mengetahui nasikh danmansukh, ‘am dan khash, muthlaq dan muqayyad serta menguasai betul bahasa Arab
dengan sekira hafal pemaknaan-pemaknaan setiap nash sesuai dengan bahasa al
Qur’an, mengetahui apa yang telah disepakati oleh para ahli ijtihad dan apa
yang diperselisihkan oleh mereka, karena jika tidak mengetahui hal ini maka
dimungkinkan ia menyalahi ijma’ (konsensus para ulama) para ulama sebelumnya. Lebih dari
syarat-syarat tersebut ini, masih ada sebuah syarat besar lagi yang harus
terpenuhi dalam berijtihad yaitu kekuatan pemahaman dan nalar. Kemudian juga
disyaratkan memiliki sifat ‘adalah; yaitu selamat dari
dosa-dosa besar dan tidak membiasakan berbuat dosa-dosa kecil yang bila
diperkirakan secara hitungan jumlah dosa kecilnya tersebut melebihi jumlah
perbuatan baiknya. Sedangkan Muqallid (orang yang melakukan taqlid;mengikuti pendapat para mujtahid) adalah orang
yang belum sampai kepada derajat tersebut di atas. Dalil bahwa orang Islam
terbagi kepada dua tingkatan ini adalah hadits Nabi:
نَضر اللهُ امْرأً
سَمِعَ مَقَالَتِيْ فَوَعَاهَا فأدّاهَا كَمَا سَمِعَهَا ، فَرُبَّ حَامِل مُبَلّغ
لا فِقْهَ عِنْدَهُ (رواه الترمذي وابن حبان)
“Allah memberikan
kemuliaan kepada seseorang yang mendengar perkataanKu, kemudian ia menjaganya
dan menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya, betapa banyak orang yang
menyampaikan tapi tidak memiliki pemahaman”. (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Bukti terdapat pada
redaksi: “Fa Rubba Muballigh La Fiqha ‘Indahu”, artinya; “Betapa banyak orang yang menyampaikan tapi
tidak memiliki pemahaman”.
Dalam riwayat lain: “Fa Rubba Muballagh Aw’a Min Sami’”, artinya; “Betapa banyak orang yang mendengar
(disampaikan kepadanya hadits) lebih mengerti dari yang menyampaikan”.
Bagian dari redaksi
hadits tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa di antara sebagian orang
yang mendengar hadits dari Rasulullah ada yang hanya meriwayatkan saja dan
pemahamannya terhadap kandungan hadits tersebut kurang dari pemahaman orang
yang mendengar darinya. Orang yang kedua ini dengan kekuatan nalar dan
pemahamannya memiliki kemampuan untuk menggali dan mengeluarkan hukum-hukum dan
masalah-masalah (dinamakan Istinbath) yang terkandung di dalam hadits tersebut. Dari sini diketahui
bahwa sebagian sahabat Nabi ada yang pemahamannya kurang dari para murid dan
orang yang mendengar hadits darinya. Pada redaksi lain hadits ini: “Fa Rubba
Hamil Fiqh Ila Man Huwa Afqah Minhu”, artinya; “Betapa banyak orang yang membawa fiqh kepada
orang yang lebih paham darinya”. Dua riwayat ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu
Hibban. Mujtahid dengan pengertian inilah yang dimaksud oleh hadits Nabi:
إذَا اجْـتَهَدَ
الْحَاكِمُ فأصَابَ فَلَهُ أجْرَانِ وَإذَا اجْـتَهَدَ فأخْطَأَ فَلَهُ
أجْرٌ (رواه البخاري)
“Apabila seorang
Penguasa berijtihad dan benar maka ia mendapatkan dua pahala dan bila salah
maka ia mendapatkan satu pahala”. (HR. al Bukhari)
Dalam hadits ini
disebutkan “Penguasa” (al-Hakim) secara khusus karena ia lebih membutuhkan kepada aktivitas
ijtihad dari pada lainnya. Di kalangan para ulama salaf, terdapat para mujtahid
yang sekaligus penguasa, seperti para khalifah yang enam; Abu Bakr, ‘Umar,
‘Utsman, ‘Ali, al Hasan ibn ‘Ali, ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, Syuraih al Qadli dan
lainnya.
Para ulama hadits yang
menulis karya-karya dalam Mushthalah al-Hadits menyebutkan bahwa ahli fatwa dari kalangan
sahabat hanya kurang dari sepuluh, yaitu sekitar enam menurut suatu pendapat.
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa ada sekitar dua ratus sahabat yang
mencapati tingkatan Mujtahid dan ini pendapat yang lebih sahih. Jika keadaan
para sahabat saja demikian adanya maka bagaimana mungkin setiap orang muslim
yang bisa membaca al Qur’an dan menelaah beberapa kitab berani berkata: “Mereka (para mujtahid)
adalah manusia dan kita juga manusia, tidak seharusnya kita taqlid kepada
mereka”. Padahal telah
terbukti dengan data yang valid bahwa kebanyakan ulama salaf bukan mujtahid,
mereka ikut (taqlid) kepada ahli ijtihad
yang ada di kalangan mereka. Dalam shahih al Bukhari diriwayatkan bahwa seorang
pekerja sewaan telah berbuat zina dengan isteri majikannya. Lalu ayah pekerja
tersebut bertanya tentang hukuman atas anaknya, ada yang mengatakan: “Hukuman
atas anakmu adalah membayar seratus ekor kambing dan (memerdekakan) seorang
budak perempuan”. Kemudian sang ayah kembali bertanya kepada ahli ilmu, jawab
mereka: “Hukuman atas anakmu dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun”.
Akhirnya ia datang kepada Rasulullah bersama suami perempuan tadi dan
berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya anakkku ini bekerja kepada orang ini,
lalu ia berbuat zina dengan isterinya. Ada yang berkata kepadaku hukuman atas
anakku adalah dirajam, lalu aku menebus hukuman rajam itu dengan membayar
seratus ekor kambing dan (memerdekakan) seorang budak perempuan. Lalu aku
bertanya kepada para ahli ilmu dan mereka menjawab hukuman anakmu adalah
dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun ?”. Rasulullah berkata: “Aku pasti akan memberi
keputusan hukum terhadap kalian berdua dengan Kitabullah, al walidah (budak perempuan) dan kambing tersebut
dikembalikan kepadamu dan hukuman atas anakmu adalah dicambuk seratus kali dan
diasingkan (dari kampungnya sejauh
jarak Qashar –sekitar 78 Km) setahun”.
Laki-laki tersebut
sekalipun seorang sahabat tapi ia bertanya kepada para sahabat lainnya dan
jawaban mereka salah lalu ia bertanya kepada para ulama di kalangan mereka
hingga kemudian Rasulullah memberikan fatwa yang sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh para ulama mereka. Dalam kejadian ini Rasulullah memberikan
pelajaran kepada kita bahwa sebagian sahabat sekalipun mereka mendengar
langsung hadits dari Nabi namun tidak semuanya memahaminya, artinya tidak semua
sahabat memiliki kemampuan untuk mengambil hukum dari hadits Nabi. Mereka ini
hanya berperan meriwayatkan hadits kepada lainnya sekalipun mereka memahami
betul bahasa Arab yang fasih. Dengan demikian sangatlah aneh orang-orang bodoh
yang berani mengatakan: “Mereka adalah manusia dan kita juga manusia...”. Mereka yang dimaksud adalah para ulama
mujtahid seperti para imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan
Ahmad ibn Hanbal).
Senada dengan hadits
di atas, hadits yang diriwayatkan Abu Dawud tentang seorang laki-laki yang
terluka di kepalanya. Pada suatu malam yang dingin ia junub, setelah ia
bertanya tentang hukumnya kepada orang-orang yang bersamanya, mereka menjawab:
“Mandilah !”. Kemudian ia mandi dan meninggal (karena kedinginan). Ketika
Rasulullah dikabari tentang hal ini, beliau berkata: “Mereka telah membunuhnya,
semoga Allah membalas perbuatan mereka, Tidakkah mereka bertanya kalau memang
tidak tahu, karena obat ketidaktahuan adalah bertanya!”. Dengan demikian obat
kebodohan adalah bertanya, bertanya kepada ahli ilmu. Lalu Rasulullah berkata:
“Sesungguhnya cukup bagi orang tersebut bertayammum, dan membalut lukanya
dengan kain lalu mengusap kain tersebut dan membasuh (mandi) sisa
badannya". (HR. Abu Dawud dan lainnya). Dari kasus ini diketahui bahwa
seandainya ijtihad diperbolehkan bagi setiap orang Islam untuk melakukannya,
tentunya Rasulullah tidak akan mencela mereka yang memberi fatwa kepada orang
junub tersebut padahal mereka bukan ahli untuk berfatwa.
Kemudian di antara
tugas khusus seorang mujtahid adalah melakukan qiyas, yaitu mengambil hukum
bagi sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yang memiliki nash karena
ada kesamaan dan keserupaan antara keduanya. Maka berhati-hati dan waspadalah
terhadap mereka yang menganjurkan para pengikutnya untuk berijtihad, padahal
mereka sendiri, juga para pengikutnya sangat jauh dari tingkatan ijtihad.
Mereka dan para pengikutnya adalah para pengacau dan perusak agama. Termasuk
kategori ini adalah orang-orang yang di majelis-majelis mereka biasa membagikan
lembaran-lembaran tafsiran suatu ayat atau hadits, padahal mereka tidak pernah
belajar ilmu agama secara langsung kepada para ulama. Orang-orang semacam ini
adalah golongan yang menyempal dan menyalahi para ulama Ushul Fiqh. Karena para
ulama ushul berkata: “Qiyas adalah pekerjaan seorang mujtahid”. Mereka juga
menyalahi para ulama ahli hadits.
Mengapa Harus Empat Madzhab?
Ibn Khaldun dalam
kitab Muqaddimah menuliskan bahwa produk-produk hukum yang
berkembang dalam disiplin ilmu fiqih yang digali dari berbagai dalil-dalil
syari’at menghasilkan banyak perbedaan pendapat antara satu imam mujtahid
dengan lainnya. Perbedaan pendapat di antara mereka tentu disebabkan banyak
alasan, baik karena perbedaan pemahaman terhadap teks-teks yang tidak sharîh, maupun karena adanya perbedaan konteks.
Demikian maka perbedaan pendapat dalam produk hukum ini sesuatu yang tidak
dapat dihindari. Namun demikian, setiap produk hukum yang berbeda-beda ini
selama dihasilkan dari tangan seorang ahli ijtihad (Mujtahid
Muthlak) maka semuanya dapat
dijadikan sandaran dan rujukan bagi siapapun yang tidak mencapai derajat
mujtahid, dan dengan demikian masalah-masalah hukum dalam agama ini menjadi
sangat luas. Bagi kita, para ahli taqlîd; orang-orang yang tidak mencapai derajat
mujtahid, memiliki keluasan untuk mengikuti siapapun dari para ulama mujtahid
tersebut.
Dari sekian banyak
imam mujtahid, yang secara formulatif dibukukan hasil-hasil ijtihadnya dan
hingga kini madzhab-madzhabnya masih dianggap eksis hanya terbatas kepada Imam
madzhab yang empat saja, yaitu; Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufy
(w 150 H) sebagai perintis madzhab Hanafi, Imam Malik ibn Anas (w 179 H)
sebagai perintis madzhab Maliki, Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (w 204 H)
sebagai perintis madzhab Syafi’i, dan Imam Ahmad ibn Hanbal (w 241 H) sebagai
perintis madzhab Hanbali. Sudah barang tentu para Imam mujtahid yang empat ini
memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni hingga mereka memiliki otoritas untuk
mengambil intisari-intisari hukum yang tidak ada penyebutannya secarasharîh, baik di dalam al-Qur’an maupun dalam
hadits-hadits Rasulullah. Selain dalam masalah fiqih(Furû’iyyah), dalam masalah-masalah akidah (Ushûliyyah) para Imam mujtahid yang empat ini adalah
Imam-Imam teolog terkemuka (al-Mutakllimûn) yang menjadi rujukan utama dalam segala
persoalan teologi. Demikian pula dalam masalah hadits dengan segala aspeknya,
mereka merupakan tumpuan dalam segala rincinan dan berbagai seluk-beluknya (al-Muhadditsûn). Lalu dalam masalah tasawwuf yang titik
konsentrasinya adalah pendidikan dan pensucian ruhani (Ishlâh al-A’mâl
al-Qalbiyyah, atau Tazkiyah
an-Nafs), para ulama mujtahid
yang empat tersebut adalah orang-orang terkemuka di dalamnya (ash-Shûfiyyah). Kompetensi para Imam madzhab yang empat ini
dalam berbagai disiplin ilmu agama telah benar-benar ditulis dengan tinta emas
dalam berbagai karya tentang biografi mereka.
Pada periode Imam
madzhab yang empat ini kebutuhan kepada penjelasan masalah-masalah fiqih sangat
urgen dibanding lainnya. Karena itu konsentrasi keilmuan yang menjadi fokus
perhatian pada saat itu adalah disiplin ilmu fiqih. Namun demikian bukan
berarti kebutuhan terhadap Ilmu Tauhid tidak urgen, tetap hal itu juga menjadi
kajian pokok di dalam pengajaran ilmu-ilmu syari’at, hanya saja saat itu
pemikiran-pemikiran ahli bid’ah dalam masalah-masalah akidah belum terlalu
banyak menyebar. Benar, saat itu sudah ada kelompok-kelompok sempalan dari para
ahli bid’ah, namun penyebarannya masih sangat terbatas. Dengan demikian
kebutuhan terhadap kajian atas faham-faham ahli bid’ah dan pemberantasannya
belum sampai kepada keharusan melakukan kodifikasi secara rinci terhadap segala
permasalahan akidah Ahlussunnah. Namun begitu, ada beberapa karya teologi
Ahlussunnah yang telah ditulis oleh beberapa Imam madzhab yang empat, seperti Imam
Abu Hanifah yang telah menulis lima risalah teologi; al-Fiqh
al-Akbar, ar-Risâlah, al-Fiqh al-Absath, al-‘Âlim Wa al-Muta’allim, dan al-Washiyyah, juga Imam asy-Syafi’i yang telah menulis
beberapa karya teologi. Benar, perkembangan kodifikasi terhadap Ilmu Kalam saat
itu belum sesemarak pasca para Imam madzhab yang empat itu sendiri.
Allah Dan Rasul-Nya "Menjamin" Kebenaran Ijtihad Para
Imam Madzhab
Sebagaimana telah kita
ketahui bahwa di antara mukjizat Rasulullah adalah beberapa perkara atau peristiwa
yang beliau ungkapkan dalam hadits-haditsnya, baik peristiwa yang sudah
terjadi, yang sedang terjadi, maupun yang akan terjadi. Juga sebagaimana telah
kita ketahui bahwa seluruh ucapan Rasulullah adalah wahyu dari Allah, artinya
segala kalimat yang keluar dari mulut mulia beliau bukan semata-mata timbul
dari hawa nafsu. Dalam pada ini Allah berfirman:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ
الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى (النجم: 3-4)
“Dan tidaklah
dia -Muhammad- berkata-kata dari hawa nafsunya, sesungguhnya tidak lain
kata-katanya tersebut adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya” (QS. An-Najm:
3-4)
Di antara pemberitaan
Rasulullah yang merupakan salah satu mukjizat beliau adalah sebuah hadits yang
beliau sabdakan bahwa kelak dari keturunan Quraisy akan datang seorang alim
besar yang ilmu-ilmunya akan tersebar diberbagai pelosok dunia, beliau
bersabda:
لاَ تَسُبُّوْا
قُرَيْشًا فَإنّ عَالِمَهَا يَمْلَأُ طِبَاقَ
الأرْضِ عِلْمًا (رواه أحمد)
“Janganlah
kalian mencaci Quraisy karena sesungguhnya -akan datang- seorang alim dari
keturunan Quraisy yang ilmunya akan memenuhi seluruh pelosok bumi” (HR. Ahmad).
Terkait dengan sabda
ini para ulama kemudian mencari siapakah yang dimaksud oleh Rasulullah dalam
haditsnya tersebut? Para Imam madzhab terkemuka yang ilmunya dan para muridnya
serta para pengikutnya banyak tersebur paling tidak ada empat orang; Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad ibn Hanbal. Dari keempat
Imam yang agung ini para ulama menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hadits
Rasulullah di atas adalah Imam asy-Syafi’i, sebab hanya beliau yang berasal
dari keturunan Quraisy. Tentunya kesimpulan ini dikuatkan dengan kenyataan
bahwa madzhab Imam asy-Syafi’i telah benar-benar tersebar di berbagai belahan
dunia Islam hingga sekarang ini.
Dalam hadits lain,
Rasulullah bersabda:
يُوْشِكُ أنْ يَضْرِبَ
النّاسُ ءَابَاطَ الإبِلِ فَلاَ يَجِدُوْنَ عَالِمًا أعْلَمُ مِنْ عَالِمِ
الْمَدِيْنَة (رواه أحمد)
“Hampir-hampir
seluruh orang akan memukul punuk-punuk unta (artinya mengadakan perjalan
mencari seorang yang alim untuk belajar kepadanya), dan ternyata mereka tidak
mendapati seorangpun yang alim yang lebih alim dari orang alim yang berada di
Madinah”. (HR. Ahmad).
Para ulama
menyimpulkan bahwa yang maksud oleh Rasulullah dalam haditsnya ini tidak lain
adalah Imam Malik ibn Anas, perintis Madzhab Maliki; salah seorang guru Imam
asy-Syafi’i. Itu karena hanya Imam Malik dari Imam madzhab yang empat yang
menetap di Madinah, yang oleh karenanya beliau digelari denganImâm Dâr al-Hijrah (Imam Kota Madinah). Kapasitas keilmuan beliau
tentu tidak disangsikan lagi, terbukti dengan eksisnya ajaran madzhab yang
beliau rintis hingga sekarang ini.
Tentang Imam Abu
Hanifah, demikian pula terdapat dalil tekstual yang menurut sebagian ulama
menunjukan bahwa beliau adalah sosok yang dimaksud oleh Rasulullah dalam sebuah
haditsnya, bahwa Rasulullah bersabda:
لَوْ كَانَ الْعِلْمُ
مُعَلَّقًا بِالثّريَّا لَنَالَهُ رِجَالٌ مِنْ أبْنَاءِ فَارِسٍ (رَوَاهُ
أحْمَدُ)
“Seandainya ilmu
itu tergantung di atas bintang-bintang Tsurayya maka benar-benar ia akan diraih
oleh orang-orang dari keturunan Persia” (HR. Ahmad).
Sebagian ulama
menyimpulkan bahwa yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah Imam Abu Hanifah,
oleh karena hanya beliau di antara Imam mujtahid yang empat yang berasal dari
daratan Persia. Imam Abu Hanifah telah belajar langsung kepada tujuh orang
sahabat Rasulullah dan kepada sembilan puluh tiga ulama terkemuka dari kalangan
tabi’in. Tujuh orang sahabat Rasulullah tersebut adalah; Abu ath-Thufail Amir
ibn Watsilah al-Kinani, Anas ibn Malik al-Anshari, Harmas ibn Ziyad al-Bahili,
Mahmud ibn Rabi’ al-Anshari, Mahmud ibn Labid al-Asyhali, Abdullah ibn Busyr
al-Mazini, dan Abdullah ibn Abi al-Awfa al-Aslami.
Demikian pula dengan
Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, para ulama kita menetapkan bahwa terdapat
beberapa dalil tekstual yang menunjukan kebenaran akidah Asy’ariyyah. Ini
menunjukan bahwa rumusan akidah yang telah dibukukan oleh Imam Abu al-Hasan
sebagai akidah Ahlussunnah Wal Jama’ah; adalah keyakinan mayoritas umat Nabi
Muhammad sebagai al-Firqah an-Nâjiyah; kelompok yang kelak di akhirat akan selamat
kelak.
Imam al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Mufatrî menuliskan satu bab yang ia namakan: “Bab
beberapa riwayat dari Rasulullah tentang kabar gembira dengan kedatangan Abu
Musa al-Asy’ari dan para penduduk Yaman yang merupakan isyarat dari Rasulullah
secara langsung akan kedudukan ilmu Abu al-Hasan al-Asy’ari”. Bahkan kabar
gembira tentang kebenaran akidah Asy’ariyyah ini tidak hanya dalam beberapa
hadits saja, tapi juga terdapat dalam al-Qur’an. Dengan demikian hal ini
merupakan bukti nyata sekaligus sebagai kabar gembira dari Rasulullah langsung
bagi orang-orang pengikut Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Dalam al-Qur’an Allah
berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوا مَن يَرْتَدَّ مِنكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ
بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ
يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ يَخَافُونَ
لَوْمَةَ لآَئِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللهِ يُؤْتِيهِ
مَن يَشَآءُ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
(المائدة: 54)
Maknanya: “Wahai
sekalian orang beriman barangsiapa di antara kalian murtad dari agamanya, maka
Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai
Allah, mereka adalah orang-orang yang lemah lembut kepada sesama orang mukmin
dan sangat kuat -ditakuti- oleh orang-orang kafir. Mereka berjihad dijalan
Allah, dan mereka tidak takut terhadap cacian orang yang mencaci”. (QS.
Al-Ma’idah: 54).
Dalam sebuah hadits
diriwayatkan bahwa ketika turun ayat ini, Rasulullah memberitakannya sambil
menepuk pundak sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya bersabda: “Mereka (kaum
tersebut) adalah kaum orang ini!!”. Dari hadits ini para ulama menyimpulkan
bahwa kaum yang dipuji dalam ayat di atas tidak lain adalah kaum Asy’ariyyah,
karena sahabat Abu Musa al-Asy’ari adalah moyang dari Imam Abu al-Hasan
al-Asy’ari. Dalam penafsiran firman Allah di atas: “Maka Allah
akan mendatangkan suatu kaum yang Dia cintai dan kaum tersebut mencintai
Allah....” (QS. Al-Ma’idah: 54), Imam Mujahid berkata: “Mereka adalah kaum dari negeri Saba’ (Yaman)”.
Kemudian al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib al-Muftarî menambahkan: “Dan orang-orang Asy’ariyyah
adalah kaum yang berasal dari negeri Saba’”[7].
Penafsiran ayat di
atas bahwa kaum yang dicintai Allah dan mencintai Allah tersebut adalah kaum
Asy’ariyyah telah dinyatakan pula oleh para ulama terkemuka dari para ahli
hadits. Lebih dari cukup bagi kita bahwa hal itu telah dinyatakan oleh orang
sekelas Imam al-Hâfizh Ibn Asakir dalam kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî. Beliau adalah seorang ahli hadits terkemuka (Afdlal
al-Muhaditsîn) di seluruh daratan
Syam pada masanya. Imam Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât asy-Syâfi’iyyah menuliskan: “Ibn Asakir adalah termasuk
orang-orang pilihan dari umat ini, baik dalam ilmunya, agamanya, maupun dalam
hafalannya. Setelah Imam ad-Daraquthni tidak ada lagi orang yang sangat kuat
dalam hafalan selain Ibn Asakir. Semua orang sepakat dalam hal ini, baik
mereka yang sejalan dengan Ibn Asakir sendiri, atau mereka yang
memusuhinya”[8].
Lebih dari pada itu
Ibn Asakir sendiri dalam kitab Tabyîn Kadzib al-Muftarî telah mengutip pernyataan para ulama hadits
terkemuka (Huffâzh al-Hadîts) sebelumnya yang telah menafsirkan ayat
tersebut demikian, di antaranya ahli hadits terkemuka Imam al-Hâfizh Abu Bakar al-Bayhaqi penulis kitab Sunan
al-Bayhaqi dan berbagai karya
besar lainnya.
Al-Hâfizh Ibn Asakir dalam Tabyîn Kadzib
al-Muftarî menuliskan pernyataan
Imam al-Bayhaqi dengan sanad-nya dari Yahya ibn Fadlillah al-Umari, dari Makky ibn Allan,
berkata: Telah mengkabarkan kepada kamial-Hâfizh Abu al-Qasim ad-Damasyqi, berkata: Telah mengkabarkan kepada
kami Syaikh Abu Abdillah Muhammad ibn al-Fadl al-Furawy, berkata: Telah
mengkabarkan kepada kami al-Hâfizh Abu Bakar Ahmad ibn al-Husain ibn Ali al-Bayhaqi, bahwa ia
(al-Bayhaqi) berkata:
“Sesungguhnya sebagian
para Imam kaum Asy’ariyyah -semoga Allah merahmati mereka- mengingatkanku
dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari ‘Iyadl al-Asy’ari, bahwa ketika
turun firman Allah: (Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia
cintai dan kaum tersebut mencintai Allah) QS. Al-Ma’idah: 54, Rasulullah kemudian
berisyarat kepada sahabat Abu Musa al-Asy’ari, seraya berkata: “Mereka adalah
kaum orang ini”. Dalam hadits ini terdapat isyarat akan keutamaan dan derajat
mulia bagi Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, karena tidak lain beliau adalah
berasal dari kaum dan keturunan sahabat Abu Musa al-Asy’ari. Mereka adalah kaum
yang diberi karunia ilmu dan pemahaman yang benar. Lebih khusus lagi mereka
adalah kaum yang memiliki kekuatan dalam membela sunah-sunnah Rasulullah dan
memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka memiliki dalil-dalil yang kuat dalam
memerangi bebagai kebatilan dan kesesatan. Dengan demikian pujian dalam ayat di
atas terhadap kaum Asy’ariyyah, bahwa mereka kaum yang dicintai Allah dan
mencintai Allah, adalah karena telah terbukti bahwa akidah yang mereka yakini
sebagai akidah yang hak, dan bahwa ajaran agama yang mereka bawa sebagai ajaran
yang benar, serta terbukti bahwa mereka adalah kaum yang memiliki kayakinan
yang sangat kuat. Maka siapapun yang di dalam akidahnya mengikuti ajaran-ajaran
mereka, artinya dalam konsep meniadakan keserupaan Allah dengan segala
makhluk-Nya, dan dalam metode memegang teguh al-Qur’an dan Sunnah, sesuai dan
sejalan dengan faham-faham Asy’ariyyah maka ia berarti termasuk dari golongan
mereka”[9].
Imam Tajuddin as-Subki dalam Thabaqât
asy-Syâfi’iyyah mengomentari pernyataan
Imam al-Bayhaqi di atas, berkata:
“Kita katakan; -tanpa
kita memastikan bahwa ini benar-benar maksud Rasulullah-, bahwa ketika
Rasulullah menepuk punggung sahabat Abu Musa al-Asy’ari, sebagaimana dalam
hadits di atas, seakan beliau sudah mengisyaratkan akan adanya kabar gembira
bahwa kelak akan lahir dari keturunannya yang ke sembilan Imam Abu al-Hasan
al-Asy’ari. Sesungguhnya Rasulullah itu dalam setiap ucapannya terdapat
berbagai isyarat yang tidak dapat dipahami kecuali oleh orang-orang yang mendapat
karunia petunjuk Allah. Dan mereka itu adalah orang yang kuat dalam ilmu (ar-Râsikhûn
Fi al-‘Ilm) dan memiliki mata hati
yang cerah. Firman Allah: “Seorang yang oleh Allah tidak dijadikan petunjuk
baginya, maka sama sekali ia tidak akan mendapatkan petunjuk” (QS. An-Nur: 40)”[10].
Slogan “Pepesan Kosong”
Dewasa ini timbul
pendapat pada sebagian masyarakat kita mengatakan bahwa ilmu-ilmu dalam Islam
dapat dipelajari sendiri tanpa harus memiliki sanad. Ironisnya, kelompok ini
dalam praktek belajar ilmu-ilmu agama hanya terpaku kepada selebaran, buletin,
jurnal, browsing internet, secara virtual, dan berbagai media elektronik lainnya. Betul, kita tindak
mengingkari ada banyak nilai-nilai positif dari media teknologi yang di manapun
dan kapanpun dapat kita “nikmati”, sebagaimana kita juga tidak bisa menutup
mata dari sisi-sisi negatifnya. Seharusnya, kita tetap memposisikan media
teknologi informasi tersebut murni sebagai pembawa “Informasi” yang sangat
butuh kepada klarifikasi (tabayyun), tidak menjadikannya guru utama (guru besar), atau
menjadikannya sebagai rujukan apapun dalam segala pengetahuan, termasuk
ilmu-ilmu agama. Kita semua yakin bahwa media internet dengan segala konten di
dalamnya mengandung berbagai sisi baik, juga mengandung sisi buruk. Kalau boleh
sedikit “kasar”, penulis menyebutnya laksana tong sampah; di dalamnya apapun
ada. Sesungguhnya, seorang yang memiliki sanad maka berarti ia dapat
mempertanggungjawabkan kebenaran cara beragama yang dipraktekannya. Sikap
apriori dari beberapa kelompok masyarakat kita yang “anti” terhadap
naskah-naskah klasik (Kitab Kuning) tidak lain adalah karena didasarkan kepada
hawa nafsu belaka dan karena mereka sendiri tidak memiliki sanad dalam keilmuan
dan dalam cara beragama mereka.
Ada pula sebagian
orang pada masyarakat kita mengatakan bahwa mereka tidak butuh kepada pendapat
para ulama terdahulu dengan alasan bahwa mereka sendiri telah dapat memahami
teks-teks syari’at. Bahkan terkadang ungkapan mereka ini diselingi dengan “caci
maki” terhadap para imam madzhab empat, atau terhadap para ulama terkemuka
lainnya. Biasanya mereka membuat propaganda dengan slogan-slogan “pepesan
kosong”, seperti: “Kami tidak membutuhkan madzhab”, atau: “Madzhab kami hanya
al-Qur’an dan Sunnah”, atau kadang mereka berkata: “Nahnu Rijâl Wa Hum
Rijâl (Kita manusia dan
mereka --para ulama-- juga manusia)”, atau: “Sumber kita murni; al-Qur’an dan
Sunnah, kita tidak mengambil dari karya-karya para ulama (kitab kuning)”.
Bahkan ada yang lebih parah dari itu semua dengan mengatakan bahwa taqlid
kepada para Imam madzhab adalah perbuatan syirik. Na’udzu Billah. Perkataan orang-orang semacam ini justru
menegaskan bahwa mereka tidak paham terhadap kandungan al-Qur’an dan Sunnah.
Segala praktek ibadah dan keyakinan orang-orang semacam ini patut
dipertanyakan. Dari manakah mereka memahami teks-teks syari’at? Siapakah yang
telah membawa teks-teks syari’at tersebut hingga turun kepada mereka? Atau kita
mulai dengan pertanyaan sederhana ini; “Apakah mereka faham bahasa Arab?”, “Apakah
mereka hafal dan faham ayat-ayat dan hadits ahkam dengan berbagai aspek di dalamnya; semisal‘am khash, mutlaq
muqayyad, nasikh mansukh, sabab an-nuzul dan lainnya?”, “Tahukan mereka apa definisiistirkha’ dan istibra’? “Tahukan mereka perbedaan antara al-ku’ dan al-bu’? Apakah mereka merasa lebih paham terhadap
ajaran agama ini dibanding para ulama? Sungguh penulis sangat “khawatir”,
jangan-jangan mereka yang sangat anti terhadap madzhab tidak mengetahui berapa
rukun wudlu.
Wa Allah A’lam Bi ash-Shawab.
Referensi
an-Nawawi, Yahya ibn
Syaraf (w 676 H) Taqrib at-Tahdzib, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut, Lebanon
as-Suyuthi, Jalaluddin
Abd ar-Rahman ibn Abi Bakr (w 911 H), Tadrib ar-Rawi, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Bairut
al-‘Iraqi, Zaynuddin
Abdurrahim ibn al-Husain al-‘Iraqi (w 806 H) at-Taqyid wa al-Idlah Lima Ighliqa
Min Muqaddimah Ibn ash-Shalah, Dar al-Kutub ats-Tsaqafiyyah, Bairut, cet. 4, th. 1996-1316
Al-Ghumari, Abu
al-Fadl Abdullah ibn Muhammad al-Hasani, Ar-Rasa-il Al-Ghumariyyah, Taqdim wa tahqiq Kamal Yusuf al-Hut, Dar al-Janan, cet. 1, 1991-1411
al-‘Iraqi, Zaynuddin
Abdurrahim ibn al-Husain al-‘Iraqi (w 806 H), Fath al-Mughits Syarh Alfiyah
al-Hadits,Dar al-Fikr, Bairut,
cet. 1, th. 1995-1416
al-‘Asqalani, Ahmad
ibn Ali ibn Hajar, Nuzhah an-Nazhar Syarh Nukhbah
al-Fikar, Dar al-Fikr, Bairut,
Ibn Asakir, Abu
al-Qasim Ali ibn al-Hasan ibn Hibatillah (w 571 H) Tabyîn Kadzib
al-Muftarî Fîmâ Nusiba Ilâ al-Imâm Abî al-Hasan al-Asy’ari, Dar al-Fikr, Damaskus.
Ibn ash-Shalah, Abu
Amr Utsman ibn Abdirrahman (w 643 H) al-Muqaddimah, Dar al-Kutub ats-Tsaqafiyyah, Bairut, cet. 4,
th. 1996-1316
Subki, as, Tajuddin
Abd al-Wahhab ibn Ali ibn Abd al-Kafi as-Subki, Thabaqât asy-Syâfi’iyyah
al-Kubrâ,tahqîq Abd al-Fattah dan
Mahmud Muhammad ath-Thanahi, Bairut, Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah.
__ Catatan Kaki __
[1] Penjelasan ini
diungkapkan dalam hampir seluruh kitab-kitab Musthalah al-Hadits, lihat di antaranya; an-Nawawi (w 676 H)
dalam at-Taqrib, j. 2, h. 94, as-Suyuthi dalam Tadrib
ar-Rawi, j. 2, h. 93, Ibn
ash-Shalah dalam al-Muqaddimah, h. 239, al-‘Iraqi dalam at-Taqyid wa al-Idlah, h. 239, al-‘Iraqi dalam Fath
al-Mughits Syarh Alfiyah al-Hadits, h. 308
[2] Ibn ash-Shalah, al-Muqaddimah, h. 239
[3] as-Suyuthi, Tadrib ar
Rawi, j. 2, h. 95
[4] Ibn ash-Shalah, al-Muqaddimah, h. 239
[5] Untuk mengenal
definisi masing-masing istilah ini silahkan merujuk kepada kitab-kitab
Musthalah, seperti an-Nawawi dengan at-Taqrib, as-Suyuthi dengan Tadrib ar-Rawi, Ibn ash-Shalah dengan al-Muqaddimah,al-‘Iraqi dengan at-Taqyid wa al-Idlah, dan Fath al-Mughits Syarh Alfiyah
al-Hadits, Ibn Hajar al-‘Asqalani
dengan Nukhbah al-Fikar, serta lainnya.
[6] Hasyiyah Ibn
Hamdun Syarh Bahriq Ala Lmiyah al-Af’al, h. 44
[7] Thabaqât
asy-Syafi’iyyah, j.
3, h. 364 mengutip dari Tabyîn Kadzib al-Muftarî.
[8] Ibid.
[9] Tabyîn Kadzib
al-Mufarî, h. 49-50. Tulisan Ibn
Asakir ini dikutip pula oleh Tajuddin as-Subki dalamThabaqât
asy-Syâfi’iyyah, j.
3, h. 362-363
[10] Thabaqât
asy-Syâfi’iyyah, j.
3, h. 363
Author: Mohammad
Mohammad is the founder of STC Network which offers Web Services and Online Business Solutions to clients around the globe. Read More →
Related Posts:
Islam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments: